Setelah I'tidal Tangan Sedekap atau
Lurus ke Bawah?
oleh: Syakir Jamaluddin, M A
Pembahasan
mengenai hal ini sangat menarik karena para ulama memang memahami hadis yang
sama dengan cara berbeda. Syekh Nâshiruddin al-Albâni menyatakan bahwa sedekap
bakda i'tidal yakni meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri setelah i'tidâl (bangkit
dari ruku') adalah bid'ah menyesatkan (bid'ah dlalâlah).
Menurutnya, jika ada dalilnya yang rinci, mohon supaya dihadirkan. Muhammadiyah
dalam Fatwa Tarjihnya, cenderung memilih pendapat al-Albâni yakni tidak dengan
bersedekap, tetapi tangannya lurus ke bawah bakda i'tidal, meskipun
Muhammadiyah tidak sampai menyatakan sedekap bakda i'tidal sebagai bid'ah.
Sementara Syekh Bin Bâz dan Syekh Ibn Utsaymin dalam Fatâwâ-nya
memfatwakan bukan bid'ah karena masih ada tuntunannya berdasar
keumuman hadis
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dari Sahl bin Sa‘ad al-Sâ'idi radhiallahu
‘anhu bahwa:
كَانَ
النَّاسُ يُؤْمَرُونَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ
الْيُسْرَى فِى الصَّلاَةِ
“Orang-orang diperintahkan (oleh Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam) agar meletakkan tangan kanannya di atas lengan kirinya dalam shalat” (HSR. Al-Bukhâri, Mâlik, dan al-Bayhaqi)[i]
Meskipun hadis
di atas tidak rinci sebagai posisi sedekap bakda i'tidal, namun karena letak
tangan pada posisi ruku, sujud dan duduk sudah jelas, maka keduanya memahami
bahwa yang dimaksud dengan hadis di atas adalah perintah meletakkan tangan
kanan di atas tangan kiri itu dalam posisi berdiri, dan tidak dibedakan berdiri
sebelum ruku' atau setelahnya. Untuk mendukung hadis di atas, Syekh Bin Bâz
menyebutkan hadis dari Wâ'il bin Hujr bahwa Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam:
إِذَا
كَانَ قَائِمًا فِي الصَّلاةِ قَبَضَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ
Apabila berdiri dalam shalat, beliau menggenggam
dengan tangan kanannya atas tangan kirinya (HHR.
Al-Nasa'i, al-Hâkim & al-Daruquthni) yang dalam penjelasannya bahwa
hadis ini juga tidak membedakan berdiri sebelum ruku' ataukah bakda ruku.
Menurutnya, bagi yang membedakan ini, dipersilahkan menghadirkan dalilnya.
Pendapat kedua ini didukung Syekh Muhammad Shâlih al-Munjid, bahkan
al-Sindi menulis risalah khusus yang berjudul:
زيادة
الخشوع بوضع اليمنى على اليسرى بعد الركوع
(Menambah kekhusyu'an dengan meletakkan
tangan kanan di atas tangan kiri setelah ruku').
Imam Abu
Hanifah dan para pengikutnya cenderung untuk tidak sedekap bakda i'tidal,
sedangkan pengikut Imam Malik terpecah menjadi dua pendapat. Adapun Imam Ahmad
mempersilahkan untuk memilih salah satunya, yang penting tulang-tulang punggung
utama sudah tegak lurus.
Dalam
penelitian penulis, dari sekian banyak hadis yang berbicara tentang gerakan
bakda i'tidal, memang tidak ada satupun hadis yang maqbûl yang
secara tegas merinci letak tangan bakda i'tidal kecuali semuanya atas dasar
interpretasi/penafsiran terhadap hadis. Pada umumnya, hadis yang menyebutkan
adanya gerakan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri disebutkan
setelah takbiratul-ihrâm. Hadis dari Wâ’il
bin Hujr ra yang dijadikan sebagai landasan Bin Bâz dan Ibn
'Utsaymîn, sebenarnya sebagian redaksinya menyebutkan bakda takbîratul-ihrâm. Perhatikan
pernyataan Wâ'il berikut ini:
لأَنْظُرَنَّ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَيْفَ يُصَلِّى. قَالَ : فَنَظَرْتُ
إِلَيْهِ قَامَ وَكَبَّرَ ، وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا بِأُذُنَيْهِ ،
ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى ظَهْرِ كَفِّهِ الْيُسْرَى ، وَالرُّسْغِ
مِنَ السَّاعِدِ.
“Sungguh saya benar-benar memperhatikan Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bagaimana beliau shalat." Wâ'il
berkata: "Saya melihat beliau berdiri dan bertakbir sambil mengangkat
kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua telinganya, kemudian beliau (shalallahu
‘alaihi wasallam) meletakkan tangannya yang kanan di atas punggung telapak
tangan kirinya, pergelangan dan lengan bawahnya.” (HHR. Ahmad, al-Bayhaqi, al-Thabrâni, Ibn Khuzaymah,
Ibn Hibbân)[ii]
Dalam redaksi
dari Wâ’il radhiallahu ‘anhu yang lain juga menyebutkan bakda takbîratul-ihrâm:
حِيْنَ
كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا أُذُنَيْهِ ثُمَّ ضَرَبَ بِيَمِيْنِهِ
عَلَى شِمَالِهِ فَأَمْسَكَهَا
“Ketika bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya hingga
sejajar dengan kedua telinganya kemudian beliau meletakkan tangan kanannya di
atas tangan kirinya lalu memegangnya.” (HHR.
Ibn Khuzaymah) [iii]
Hadis dari
Wâ'il yang lain menyebutkan bahwa saat menuju ke mihrab untuk shalat,
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bertakbîr, kemudian kedua
tangannya diletakkan di atas dada:
ثُمَّ
رَفَعَ يَدَيْهِ بِالتَّكْبِيرِ، ثُمَّ وَضَعَ يَمِينَهُ عَلَى يُسْرَاهُ عَلَى
صَدْرِهِ
”Lalu beliau mengangkat kedua tangannya dengan bertakbir,
kemudian meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dadanya.”(HHR. Al-Bayhaqi, al-Thabrâni)[iv]
Hadis-hadis di
atas begitu jelas menyebutkan bahwa bersedekap dengan meletakkan tangan kanan
di atas tangan kiri di atas dada hanya dilakukan setelah takbiratul-ihram.
Sedangkan hadis-hadis yang seringkali diinterpretasikan secara berbeda
tersebut, tak satupun yang menyebutkan adanya gerakan untuk meletakkan
tangan kanan di atas tangan kiri di atas dada bakda i'tidal seperti
redaksi saat bakda takbiratul-ihram. Jika memang ada, maka --paling tidak-- ada
satu saja redaksi yang mirip dengan redaksi meletakkan tangan kanan di
atas tangan kiri bakda takbiratul-ihram. Silahkan memperhatikan secara
seksama semua redaksi mengenai gerakan setelah i'tidal, maka kita hanya
menemukan redaksi seperti yang diceritakan oleh Abu Humayd
al-Sâ‘idiy radhiallahu ‘anhubahwa Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam:
“Apabila
mengangkat kepalanya, beliau menjadi tegak lurus hingga setiap
tulang kembali ke tempatnya.”
Dalam redaksi yang lain disebutkan
bahwa ketika bangkit dari ruku':
حَتَّى
يَعُودَ كُلُّ عَظْمٍ مِنْهُ إِلَى مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلاً
“hingga
setiap tulangnya kembali ke tempatnya secara proporsional.”[vi]
Sementara dalam riwayat Rifâ‘ah
bin Râfi radhiallahu ‘anhu hanya menyebutkan:
فَإِذَا رَفَعْتَ رَأْسَكَ فَأَقِمْ صُلْبَكَ حَتَّى
تَرْجِعَ الْعِظَامُ إِلَى مَفَاصِلِهَا [vii]
“Apabila kamu mengangkat kepalamu maka tegakkanlah tulang punggungmu
(sulbi-mu) hingga kembali tulang tersebut ke persendiannya.”
Hadis-hadis
inilah yang sering ditafsirkan secara berbeda. Ada yang menafsirkan
sebagai kembali ke posisi asal dengan irsâl yaknimelepaskan/menjulurkan
tangan ke bawah, dan ada yang menafsirkan dengan kembali
ke posisi semula, yakni dengan sedekap. Memang ada HR.
Ahmad yang menyebutkan adanya sedekap bakda i‘tidal bahwa: “…ketika (Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam) mengucapkan “sami‘allâhu li man hamidah”, beliau
mengangkat kedua tangannya, dan aku melihat beliau menahan tangan kanannya atas
tangan kirinya (مُمْسِكًا يَمِينَهُ عَلَى
شِمَالِهِ فِي الصَّلاةِ), tetapi hadis ini adalah hadis gharîb (asing) dan munkar sehingga
tidak layak dijadikan hujjah.[viii] Sedangkan hadis al-Bukhâri dari Sahl
bin Sa'ad al-Sâ'idiy yang memerintahkan untuk meletakkan tangan kanan di atas
tangan kiri di dalam shalat itu terlalu umum dan tidak rinci, di mana bila kita
kaitkan dengan hadis-hadis dari Abu Humayd al-Sâidi dan Wâ'il
bin Hujr lainnya, maka kita akan menyimpulkan sebagai anjuran untuk
bersedekap bakda takbîratul-ihram.
Yang jelas,
demikian banyak hadis yang menjelaskan secara rinci tentang tata cara shalat
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam (dari shalat wajib sampai
shalat sunnah), tapi kenapa tidak satupun hadis maqbûl yang
menceritakan adanya tuntunan sedekap setelah i‘tidal. Dan kembali kepada
kaidah ushûl (dasar) dalam hal ibadah, yakni: "Pada
asalnya semua ibadah itu batal/haram sampai ada dalil yang
memerintahkannya."
Adapun pernyataan Bin Bâz dan Ibn 'Utsaymin yang menyatakan bahwa
atas dasar keumuman hadis al-Bukhâri dari Sahal yang tidak membedakan berdiri
dengan sedekap sebelum ruku' atau setelahnya, tidak dapat diterima karena
justru terlalu umum dan terkesan menggunakan qiyâs dalam
ibadah, padahal menurut kaidah fiqh: "Tidak ada qiyâs dalam hal
ibadah".
Oleh
karena tidak ada hadis maqbûl yang menjelaskan
secara rinci adanya gerakan meletakkan tangan kanan di atas tangan
kiri bakda i'tidal dan tidak dibenarkan menggunakan qiyas dalam hal
ibadah, maka posisi tangan bakda i‘tidâl adalah tegak
lurus yakni kedua tangan dibiarkan menjulur ke bawah, tidak sedekap di
dada. Wa-llâhu a'lam bish-shawâb. (sangpencerah.com)
* Dosen 'Ulûmul-Hadîts
pada Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; Ketua LPPI UMY;
Anggota MTDK PP. Muhammadiyah; Penulis Buku: “Shalat Sesuai Tuntunan
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam: Mengupas Kontroversi Hadis Sekitar
Shalat” (LPPI UMY, 2008)
[i] HSR:
Hadis Sahih Riwayat Al-Bukhâri juz 1, hlm 259, no: 707; Mâlik, juz 1, hlm 159,
no: 376; al-Bayhaqi, juz 2, hlm 28; Penjelasan langkap pandangan Ibn Bâz dan
Ibn 'Utsaymîn mengenai hal ini, baca: Majmû' Fatâwâ Ibn Bâz, juz
11/130-139 atau Fatâwâ Arkân al-Islâm, dan Majmû'
Fatâwâ wa Rasâ'il Ibn 'Utsaymîn, juz 13/115. Di Indonesia, pendapat semacam
ini umumnya dipegangi oleh ulama PERSIS.
[ii] HHR:
Hadis Hasan Riwayat Ahmad, juz 4/hlm 398, no: 18890; al-Bayhaqi, juz 2, no:
2157; Ibn Khuzaymah, tahqîq al-A’dzami, 1/hlm 243, no: 480; Ibn Hibbân,
8/213: 1892. Tetapi dalam Sunan Abi Dâwud, juz 1, no: 727 tidak
menyebutkan redaksi bakda takbiratul-ihram. Semua hadis di atas melalui Zâ’idah
dari ‘Âshim bin Kulayb, dari Bapaknya, dari Wâ’il bin Hujr. Karena
banyak riwayat pendukung dengan redaksi yang berbeda yang menuntunkan
meletakkan tangan kanan di atas lengan kiri setelah takbiratul-ihram, maka
hadis ini menjadi hasan li ghayrih, yakni: hasan
karena yang lainnya.
[iii] HHR.
Ibn Khuzaymah, Shahîh. tahqîq al-A‘dzami,
juz 1/hlm 242, no: 478. Sekedar pendukung dari hadis-hadis di atas, ada HR. Ibn
Khuzaymah dari Wâ’il bin Hujr bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam setelahtakbîratul-ihrâm: وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى عَلَى صَدْرِه : “Beliau meletakkan tangan kanannya di atas
tangan kirinya di atas dadanya”. (Shahîh Ibn
Khuzaymah, tahqîq al-A‘dzami, 1/ 243: 479) namun ini asalnya
daif karena periwayat Mu’ammal banyak kesalahannya. Tetapi karena ada hadis
senada dengan sanad yang berbeda yakni HR. al-Bayhaqi (juz 2/30: 2166) dan
al-Thabrâni (juz 22/49: 118) sehingga hadis-hadis tersebut –termasuk hadis
ini-- bisa saling mendukung satu sama lain. Tampaknya inilah yang menyebabkan
al-Albâni menilai hadis meletakkan tangan di dada ini sahih.
[iv] HHR.
Al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra, tahqîq: Muhammad ‘Abd
al-Qadîr, 2/30: 2166; al-Thabrâni,al-Mu‘jam al-Kabîr, tahqîq: Hamdy
al-Salafi, 22/49: 118, keduanya melalui ‘Abd al-Jabbâr bin Wâ’il, dari Ibunya,
dari Wâ’il bin Hujr ra. Ada riwayat yang menuntunkan
bahwa kedua tangan dikencangkan di atas dada:
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى
عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بَيْنَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ وَهُوَ فِي
الصَّلاَةِ
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya kemudian
mengencangkan keduanya di atas dadanya, dan beliau melakukannya dalam
shalat.” (HR. Abu Dâwud,
1/260: 759) namun ini juga sebenarnya termasuk hadis daif karena mursal yakni
Thâwus bin Kaysân seorang tâbi‘în (wafat 106 H) langsung menyandarkannya pada
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
[v] HSR.
Al-Bukhâri, 1/284: 794; Ibn Mâjah, 1/280: 863; Ibn Khuzaymah, Shahîh, 2/324:
643; al-Bayhaqi,al-Sunan al-Kubra, 2/97: 2455. Dalam redaksi Muslim
(5/54: 1138), Abu Dâwud (1/285: 783), al-Nasâi, Ibn Mâjah, Ahmad, dari 'Â'syah
ra:
وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ لَمْ
يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِىَ قَائِمًا وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ
السَّجْدَةِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِىَ جَالِسًا
"Dan
bila mengangkat kepalanya dari ruku', beliau tidak sujud hingga tegak-lurus dalam berdiri
(yakni: tidak sedekap), dan bila mengangkat kepalanya dari sujud, beliau tidak
akan sujud hingga tegak-lurus dalam duduk (tidak sedekap)." Sebagian
hadis-hadis tersebut menggunakan kata اسْتَوَى yang berarti: menjadi tegak lurus. Lihat
Ibrahim, dkk., 1972. al-Mu'jam al-Wasîth, hlm 466; Attabik
'Ali & Ahmad Zuhdi Muhdlor. 1996, Kamus al-'Ashri: Arab-Indonesia,
hlm 116. Hanya karena ada hadis yang menjelaskan bahwa posisi tangan saat
duduk diletakkan pada kedua paha, maka tangan harus diletakkan di atas paha,
tidak dijulurkan ke bawah dan tidak sedekap. Sedangkan pada saat i'tidal,
karena tidak ada yang menuntunkan untuk sedekap, maka posisi kedua tangan
dijulurkan ke bawah hingga menjadi tegak lurus, rata dan sama (sebagaimana
makna istiwâ').
[vi] HSR. al-Bayhaqi, al-Sunan
al-Kubra, 2/97: 2455. Lihat juga Ibn Hibbân, Shahîh, tahqîq
al-Arna’uth, 5/hlm 195. Ada juga redaksi dari al-Bayhaqi , Ibn Hibbân & Ibn
Khuzaymah bahwa setelah ruku': ثُمَّ
رَفَعَ يَدَيْهِ فَاسْتَوَى قَائِمًا حَتَّى أَخَذَ كُلُّ عَظْمٍ مَوْضِعَهُ: lalu tegak lurus dalam berdiri hingga
seluruh tulang menempati tempatnya, yang meskipun hadis ini daif
karena ada Fulayh bin Sulayman, namun karena ada dukungan dari
hadis yang lain sehingga bisa naik derajatnya menjadi hasan karena
yang lainnya.
[vii] HSR.
Ahmad, juz 4 no: 19017; al-Bayhaqi, juz 3, hlm 41, no: 83; Ibn Hibbân,
juz 5, hlm 88; al-Syâfi ‘i,Musnad, juz 1 hlm 34, no:
135.
[viii] Hadis gharîb riwayat
Ahmad, juz 4, no: 18891 karena hanya punya satu jalur dari ‘Abdullah bin
al-Walîd, dari Sufyân al-Tsawri, dari ‘Âshim bin Kulayb, dari Bapaknya, dari
Wâ’il bin Hujr ra. Selain sanad ‘Ashim dari Bapaknya ini
sendirian dan –menurut ‘Ali bin al-Madini-- bahwa bila sendirian maka
hadisnya tidak bisa dijadikan hujjah, juga ‘Abdullah bin al-Walîd bin
Maymûn ini kontroversial. Kritikus yang menilainya tsiqah adalah
Al-‘Uqayli dan al-Dâruquthni, sedangkan Abu Zur‘ah: shadûq. Imam
Ahmad menilai hadisnya sahih, ia banyak menulis hadisnya meskipun ia bukan
periwayat hadis dan banyak kesalahan dalam beberapa nama. Abu Hatim juga
menuliskan hadisnya namun tidak untuk dijadikan hujjah. Ibn Ma‘în
mendaifkannya, tidak mengenalnya dan juga tidak menuliskan hadisnya. Al-Bukhâri
menilainya maqârib yakni hadis-hadisnya perlu diteliti lagi,
sedangkan menurut Al-Azdi, hadis-hadisnya meragukan karena banyak kesalahan.
Ibn ’Addi menilainya bahwa hadis-hadis yang ia riwayatkan dari al-Tsawri
adalah gharîb dan munkar. (Lihat Ibn Hajr, Tahdzîb
al-Tahdzîb, juz 6 hlm 64; Ibn ’Addi, al-Kâmil fi al-Dlu’afâ’, juz
4 hlm 248) Oleh karena ada kritikan yang lebih detail dan spesifik dari Ibn
’Addi –apalagi yang mengkritiknya lebih banyak daripada yang memujinya-- maka
sanad dan matan hadis ini daif. Jika membaca secara seksama pada matan hadis di
atas maka memang ada kekurangakuratan pada penempatan matan hadis di atas yang
menyalahi ungkapan hadis yang lebih sahih. Seharusnya sedekap ini setelah takbiratul-ihrâm sebagaimana
umumnya matan hadis yang maqbûl, seperti HHR. Ibn
Khuzaymah dari Wâ’il ra. berikut:
لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلاةِ رَسُولِ اللهِ كَيْفَ يُصَلِّي، فَرَأَيْتُهُ حِيْنَ كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ
حَتَّى حَاذَتَا أُذُنَيْهِ ثُمَّ ضَرَبَ بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ
فَأَمْسَكَهَا
“Sungguh saya benar-benar memperhatikan shalat
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bagaimana beliau shalat. Maka
aku melihatnya ketika bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya hingga
sejajar dengan kedua telinganya kemudian beliau meletakkan tangan kanannya di
atas tangan kirinya lalu memegangnya.” (Shahîh Ibn
Khuzaymah, tahqîq
al-A’dzami, 1/242). Mungkin inilah yang menyebabkan hadis (…مُمْسِكًا ) riwayat Ahmad ini dimasukkan oleh Khâlid bin ‘Abdillah
bin Muhammad al-Syâyi‘ dalam bukunya: al-I‘lâm bi Takhyîyr
al-Mushalli bi Makân Wadl‘i al-Yadayn bakda Takbirat al-Ihrâm, 1421
H., hlm 10.
Sumber : sangpencerah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar